News Update!

Jumat, 04 Desember 2020

KH. SHOLEH BAHRUDDIN SANG PENERUS RISALAH PERJUANGAN GUS DUR




M. Dayat, S.PdI, MM
Portal Sumbersuko

 

 

Sang Guru di mata KH Abdul Muhaimin tokoh pluralisme dan salah satu dewan penasehat Keraton Yogyakarta
Tepat pada tanggal 30 Desember 2009 bapak bangsa, guru bangsa, tokoh pluralisme KH. Abdur Rahman Wahid meninggal dunia, kabar kepergian beliau menghadap sang pencipta membuat banyak umat merasa kehilangan sosok pengayom dan pelindung umat, banyak umat yang bingung untuk mencari sandaran dan pengganti beliau yang mampu melindungi kaum minoritas, merangkul semua umat, memperjuangkan hak hak rakyat, sehingga tidak sedikit dari umat beragama yang khawatir akan terjadi penindasan dan diskriminasi bahkan intimidasi dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas pasca wafatnya beliau KH. Abdur Rahman Wahid atau yang akrab di panggil Gus Dur.

 
Kekhawatiran dan kegelisaan sebagian umat beragama baik yang muslim maupun yang non muslim pada akhirnya terdengar oleh sang Guru, hampir setiap hari sang Guru kedatangan tamu dari berbagai daerah dan dari berbagai unsur namun pasca wafatnya gus Dur sang guru lebih sering kedatangan tamu tamu dari saudara – saudara non muslim yang kebanyakan dari mereka ingin mengadukan dan menyampaikan katakutan dan kekhawatiran tersebut, pada suatu hari kebetulan saya berada di teras Ndalem mendampingi sang guru bercengkrama, tiba – tiba datang satu rombongan sekitar 6 orang saya tidak tau siapa dan dari mana mereka yang jelas mereka saudara non muslim, setelah tamu tersebut dipersilahkan duduk oleh sang guru, terjadilah perbincangan panjang lebar dan di tengah-tengah perbincangan tersebut ternyata tamu tersebut menyampaikan hal yang sama yang intinya mereka takut dan khawatir akan terjadi penindasan dan intimidasi kaum mayoritas terhadap kaum minoritas pasca wafatnya Gus Dur di negeri ini dan akhirnya terjadi perang antar umat beragama, lalu siapa yang akan menggantikan sosok pengayom umat seperti gus Dur, mendengar keluh kesah tamu tadi sang guru menjawab ”jangan sampai itu terjadi kasihan anak cucu nanti” dan untuk memberikan rasa ketenangan kepada para tamu, sang guru juga mengatakan ”jangan khawatir Pondok Ngalah siap mencetak 1000 Gus Dur”. Tidak lama kemudian tamu tadi berpamitan pulang dan sang guru merenung seakan akan terfikir betul akan nasib bangsa ini, beberapa hari kemudian saya di panggil oleh sang guru untuk membuat satu acara yang melibatkan semua umat beragama.


Tepatnya pada hari sabtu 22 Mei 2010 di gelarlah acara besar-besaran di halaman kampus Universitas Yudharta Pasuruan yang di kemas dengan Seminar kebangsaan dan seminar budaya dalam rangka memperingati hari kebangkitan nasional yang ke 102 dengan tema ”Memperkokoh Nilai nilai Pluralisme dan Multikultural menuju Peradaban Dunia yang Damai dan Bermartabat”, dalam kegiatan tersebut melibatkan ribuan peserta dari berbagai lintas agama, yang tentu saja  acara tersebut menelan dana yang tidak sedikit, menurut catatan panitia hampir 1 milyar dana yang di keluarkan untuk acara itu, dan dana tersebut sama sekali tidak di dapat dari proposal semuanya murni di biayai oleh sang Guru dan sumbangan dari beberapa jama’ah dan juga dari saudara – saudara non muslim, hadir dalam acara tersebut para pejabat, para tokoh agama, tokoh budaya baik dari tingkat lokal, regional dan nasional, bahkan Sri Sultan Hamengku Buwono X ikut andil untuk memberikan satu pandangan tentang kebangsaan yang di tulis di atas kertas resmi keraton, serta mengutus tokoh pluralisme agama, pendiri FPUB dan pengasuh Ponpes Nurul Ummahat yang juga merupakan salah satu penasehat keraton yaitu KH. Abdul Muhaimin Kotagede Yogyakarta untuk menghadiri acara tersebut.

 
Hampir semua panitia tidak ada yang tau sebelumnya sosok seperti apa dan bagaimana KH. Abdul Muhaimin itu termasuk juga saya, terlebih lagi kedatangan beliau tidak ada yang mengetahui dan beliau juga tidak langsung berada di depan atau di tempat yang telah disediakan oleh panitia untuk para tamu kehormatan, beliau memilih duduk di pojokan di bawah pohon kluwe, dan ketika panitia ada yang mengetahui kedatangan beliau lantas saya diberitahu juga dengan tujuan agar saya dapat membujuk beliau untuk bersedia duduk di depan bersanding dengan tokoh-tokoh yang lainnya setelah saya hampiri dan mempersilahkan untuk duduk di depan, ternyata beliau menolak juga dengan mengatakan “Tidak, cukup disini aja saya malu” mendengar perkataan beliau saya terkejut, dalam benak saya apa yang membuat beliau malu padahal yang seharusnya malu itu panitia karena tidak bisa menghormati beliau dengan baik, akhirnya saya memutuskan untuk mendampingi beliau sejenak, tiba – tiba beliau (KH. Abdul Muhaimin) berkata “Iki tokoh sak temene” (inilah tokoh sesungguhnya) mendengar perkataan beliau spontan saya bertanya “Nopo’o yai” (kenapa kyai) lalu beliau menjawab dan menerangkan “Coba lihat orang – orang yang ada di depan sana untuk menjadi seorang tokoh nasional mereka semua harus datang ke Jakarta, bahkan harus berebut panggung dan beretorika untuk dapat di sorot kamera agar terkenal, tapi Kyai Sholeh cukup duduk di pondoknya semua yang ditokohkan itu di kumpulkan disini di tempat yang sangat terpencil dan jauh dari sorotan kamera, ini hakekatnya semuanya bertekuk lutut dihadapan kyai Soleh makanya saya malu untuk duduk di depan, mendengar perkataan beliau (KH. Abdul Muhaimin) saya hanya terdiam dan bingung mau ngomong apa, sambil memegang kertas kecil yang kemudian beliau baca tulisan yang ada didalamnya dengan sangat lirih saya hanya diam di sampingnya dan berfikir apa yang di baca oleh beliau, setelah saya amati dan saya lihat ternyata kertas kecil yang dibaca beliau itu adalah secarik kertas panduan IKRAR KEBANGSAAN bagi semua peserta seminar, Setelah itu beliau diam dan tidak lama saya berpamitan untuk menjalankan tugas kepanitiaan, saya baru sadar dan paham apa yang di maksud dari perkataan beliau (KH. Abdul Muhaimin) ketika acara seminar selesai dan semua para tokoh agama, budaya dan semua peserta dari lintas agama berdiri semua dan menyatakan ikrar Bersama untuk saling menjaga keutuhan bangsa yang di pimpin langsung oleh Nyai Shinta Nuriyah (istri almarhum Gus Dur) yang isi nya :

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kami para tokoh agama : Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu, Menyatakan
1. Wajib mempertahankan dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibawah naungan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945
2. Wajib ikut berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa menuju masyarakat yang adil dan sejahtera
3. Wajib menciptakan pranata kehidupan yang rukun dan damai diantara umat beragama

Setelah pembacaan ikrar kebangsaan kemudian di lanjutkan penandatanganan prasasti oleh para tokoh lintas agama dari pusat, dari Islam di wakili oleh Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA selaku Ketua Umum PBNU, Pdt.Dr. Andreas A. Yewangoe Selaku Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Mgr. Martinus D. Situmorang, OFMCap Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Dr. I Made Gede Erata, MA Ketua Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Sudhamek Agung Waspodo Soenjoto, SE., SH selaku Ketua Umum Majelis Buddhayana Indonesia (MBI), Ir. Ws. Budi Santoso Tanuwibowo, MM selaku Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) dan juga di tanda tangani oleh sang guru dan rector Universitas Yudharta.
Setelah semua rangkaian acara selesai dan dilanjut ramah tama saya baru betul-betul dapat menyimpulkan apa yang disampaikan oleh KH. Abdul Muhaimin sebelumnya, kalau boleh saya ibaratkan dan ilustrasikan kurang lebihnya begini, ketika ada seorang anak yang kehilangan induknya (sosok Gus Dur) lalu kemudian mulai ada kekhawatiran akan tercerai berai dan bertikai satu sama lain Sang Guru tampil menggantikan sebagai induk (orang tua/tokoh pemersatu) yang kemudian memanggil semua anaknya untuk saling berjanji dihadapan orang tua bahwa tidak akan pernah bertikai dan terus saling menjaga persaudaraan sebagai satu keluarga besar yakni sesama bangsa.


Cerita pengalaman pribadi saya saat pernah mendampingi seorang tokoh pluralisme agama yang memberikan pandangan sosok sang Guru, artinya sang Guru bukan sekedar ulama atau Kyai dengan ribuan santri namun sang guru adalah tokoh bangsa, pengayom dan pelindung umat
“Madep Manteb nang Guru iku kunci suksese lan selamete santri”. Aamiin