Admin:
Portal Sumbersuko
Alhamdulliah semoga ini menjadi pelajaran terbaik bagi saya dan pertanda sebuah keberhasilan semuanya serta para pembaca biografi di sini. beliau adalah Guru saya, guru yang mengajarkan tentang semua hal yang ada dikehidupan dunia ini termasuk Guru Toriqoh Naqsabandiyah Wal Qodiriyah, saya dibaiat Toriqoh kelas 3 SMP sekitar tahun 1998, saya mondok sejak tahun 1995 s/d 2003 Asrama yang pernah saya tempati A7, A9, D12, F16, Asrama gubuk 5 Tahun bersama Pak Nasib Bapaknya Cak Khozin, benar benar mengenang dan penuh sejarah...
berikut kisahnya Guru kita, selamat membaca ...
-----------------------------------------------------
KH.
M. Sholeh Bahruddin dilahirkan di desa Ngoro Kabupaten Mojokerto pada hari
Sabtu, 25 Sya’ban tahun 1372 H atau bertepatan pada tanggal 09 Mei tahun 1953
M. Ayahnya bernama KH. Mohammad Bahruddin (almarhum) kelahiran Juwet-Porong-Sidoarjo,
1346 H/1926 M dan ibunya bernama Siti Shofrotun putri K. Imam Asy’ari
Ngoro-Mojokerto. Beliau mempunyai 11 saudara, yaitu:
1.
KH. M. Sholeh Bahruddin
2.
Muhammad Anshori :
3.
KH. M. Mansyur : Ngembe-Dlanggu-Mojokerto
4.
Muhammad Ghufron (almarhum) : Sugeng-Trawas-Mojokerto
5.
Siti Maryam : Carat-Gempol-Pasuruan
6.
Muhammad Dhofir : Modopuro-Mojosari-Mojokerto
7.
Muhammad Ridwan :
8.
Ahmad Fatah :
9.
Siti Habibah :
10.
Muhammad Misbah : Carat-Gempol-Pasuruan
11.
Siti Munifah :
Sejak
kecil KH. M. Sholeh Bahruddin belajar di rumah diajar langsung oleh ayahnya
sendiri dan guru-guru lainnya. Selanjutnya ketika menginjak dewasa beliau
disuruh ayahnya untuk menuntut ilmu kepada Kyai Syamsuddin Ngoro-Mojokerto,
yang merupakan paman dari KH. M. Sholeh Bahruddin sendiri. Setelah dirasa cukup
beliau berguru pada beberapa kyai, diantaranya sebagai berikut:
1.
Kyai Qusairi : Mojosari-Mojokerto-Jawa Timur
2.
Kyai Bahri : Sawahan-Mojosari-Mojokerto-Jawa Timur
3.
Kyai Jamal : Batho’an-Mojo-Kediri-Jawa Timur
4.
Kyai Musta’in : Peterongan-Jombang-Jawa Timur
5.
Kyai Iskandar : Kandangan-Ngoro-Jombang-Jawa Timur
6.
Kyai Muslih : Mranggen-Semarang-Jawa Tengah
7.
Kyai Munawir : Tegal Arum-Kertosono-Nganjuk-Jawa Timur
Jejak
Perjuangan Sang Kyai Di Bumi ”Ngalah”
A. Pendahuluan
Setelah
menempuh pendidikan dari perbagai Pesantren, Dan pada usia 22 tahun, tepatnya
pada tahun 1975, beliau menikah dengan Ny. Hj. Siti Sa’adah dari Krandon,
Kerjo, Karangan, Trenggalek, yang mana kalau ditelusuri dari garis keturunan
antara keduanya, menjadi satu saudara pada garis keturunan Nyai Salimah. Hingga
sekarang dari hasil perkawinan, beliau dikaruniahi 10 anak, diantaranya: Siti
Muthoharoh, Atik Hidayatin, Ahmad Syaikhu, Siti Faiqoh, Luluk Nadhiro, Ahmad
Faishol (alm.), Siti Khurotin, M. Bustomi (alm.), Siti Hajar dan terakhir Siti
Nuronia.
Romo
KH. Sholeh Bahruddin bukan hanya sekedar ulama yang nyantri 5 – 10 tahun saja,
dan bukan pula ulama’ yang nyantri dari 3 atau 4 pesantren saja. Sejak kecil
beliau sudah bergelut dengan lingkungan Pesantren, mulai dari Pesantren
ayahandanya sendiri, Pesantren kakeknya, sampai Pesantren para ulama sepuh yang
mempunyai kharismatik tinggi di tanah Jawa pernah beliau jajaki.
Dari
berbagai latar belakang pesantren yang pernah beliau jadikan pelabuhan hati
itulah, pada akhirnya beliau ramu dalam satu ramuan mujarab di Pesantrennya
sehingga akhirnya menjadi sebuah pesantren multikultural (beragam budaya),
yaitu pesantren Ngalah.
Pada
tahun 1985 beliau mendirikan lembaga pendidikan Pondok Pesantren Ngalah. Selain
beliau sebagai Pendiri dan ketua umum Yayasan Darut Taqwa Sengonagung Purwosari
Pasuruan beliau juga menjabat sebagai musytasar NU cabang Pasuruan 2006 – 2010
M. Dalam menjalankan amanah, beliau sebagai pendiri dan pengasuh mempunyai
prinsip atau motto ngayomi lan ngayemi terhadap sesama.
Dengan
lembaga yang didirikan mulai TK sampai Universitas Yudharta beliau mempunyai
tujuan dan harapan untuk mencerdaskan bangsa dan mempertahankan nilai-nilai
Pancasila sekaligus mencetak santri yang berotak Jepang dan berhati Madinah
atau dengan bahasa Pesantrennya fiddunnya hasanah wafil akhiroti hasanah yang
bermuara pada waqina adabannar.
Untuk
mendirikan Pondok Pesantren itu tidak semudah yang kita bayangkan, seperti
halnya membalikkan telapak tangan tetapi perlu adanya usaha keras dan diikuti
dengan kesabaran sekaligus perlu kepiawaian yang tinggi, apalagi didalamnya
terdapat berbagai macam atau model pendidikan yang diterapkan, mulai model
salaf sampai model kholaf, dan disamping itu juga diajarkan ilmu thoriqoh yang
menjadi pondasi keimanan dan ketauhidan seorang hamba. Hal ini menunjukkan
betapa sempurnanya ilmu yang dimiliki oleh seorang kyai yang mampu memberikan
pendidikan yang multicultural kepada semua santrinya. Dan ini membutuhkan waktu
yang cukup lama dan panjang serta butuh kesabaran untuk mengukir dan mewujudkan
semua itu.
B. Pemberian Amanah
Menuju ”Ngalah”
Setelah
beliau menikah pada tahun 1975 diusianya yang ke 22, beliau tidak lantas
mengaktualisasikan ilmunya ditengah-tengah kehidupan yang lebih nyata,
mengasingkan diri dari dekapan kedua orang tuanya dan hijrah untuk berjuang
menyebarkan syariat Islam dipergumulan orang-orang yang masih membutuhkan media
untuk mentransfer hidayah Tuhan masuk kedalam hati sanubari mereka, merubah
kultur budaya masyarakat yang jauh dari tuntunan syariat.
Beliau
yang sudah menikah mulai berfikir akan perekonomian keluarga yang dibinahnya,
bergeraklah beliau untuk membuka usaha untuk menopang ekonomi keluarga
dirumahnya, dengan modal yang sedikit beliau mencoba keberuntungannya untuk
berdagang berbagai macam kebutuhan bangunan, dimulailah perdagangan itu dengan
menyediakan batu kapur dan sedikit kayu glugu. Namun Tuhan berkata lain dan
menurunkan ujian kepada beliau dengan diberi kesuksesan dan keberhasilan dalam
usaha beliau, sehingga dengan waktu yang cukup singkat beliau mampu
mengembangkan usahanya dan mendapatkan keuntungan yang melimpah. Pada dasarnya
keuntungan dan keberhasilan dalam berdagang selalu beliau harapkan dan itu
semua tentu saja menjadi harapan semua orang apalagi orang tua yang biasanya
bahagia melihat kesuksesan anaknya. Namun berbeda dengan beliau dan kedua orang
tuanya, beliau justru melihat semua itu merupakan ujian dari Allah SWT yang
bisa membuat beliau melupakan tanggung jawab dan kewajibannya untuk mendampingi
dan membantu orang tua beliau dalam mengajar dan mendidik para santri di
pesantren ayahnya. Dengan kesibukan beliau akan pencarian dan penerimaan
karunia Tuhan itu, suatu ketika beliau meninggalkan kewajibannya untuk mengajar
dan mendidik santri ayahnya, seketika itu beliau dipanggil oleh ayahnya dan
ditegur dengan nada penuh dengan kemarahan. Ayah beliau bertanya ”teko endi
koen kok gak ngajar mangko” beliau menjawab dengan sopan ”ndugi kilaan pak”
mendengar jawaban sang putra Mbah Kyai Bahruddin Kalam atau ayah beliau
langsung memarahi beliau ”terusno.... tak obong tokomu”, sungguh tauladan yang
perlu kita petik hikmahnya, dimana kepentingan akhirat harus didahulukan dari
pada kepentingan dunia, dan kepentingan orang lain lebih diutamakan dari pada
kepentingan pribadi.
Hari
demi hari beliau merasa gunda mendengar perkataan orang tuanya. Bagaimana tidak
keberhasilan yang selalu diharapkan ternyata tidak bisa membuat orang tua
beliau senang melihatnya, tapi justru membuat sedih dan marah. Itulah kesedihan
beliau yang mendalam. Namun bagaimanapun juga beliau adalah hamba Tuhan yang
selalu diberi petunjuk, sehingga pada akhirnya beliau menyadari bahwa dalam
menjalani kehidupan ini tidak ada ujian dan cobaan yang berat untuk taat kepada
kedua orang tua dan kepada Tuhannya selain ujian dan cobaan yang bersifat
kenikmatan dan kesenangan. Dengan kenikamatan dan kesenangan orang akan lupa
kepada perintah Tuhan dan bisa membuat dirinya berlaku sombong dan
menghilangkan kepatuhan kepada kedua orang tuanya.
Disaat
kebingungan menyelimuti alam pikiran beliau, terbersitlah hidayah Tuhan,
sehingga beliau memutuskan untuk mencari sebuah ketenangan batin yang lebih
hakiki, pergilah beliau untuk ”manjing suluk” menuntaskan ilmu thoriqohnya pada
Mbah KH. Munawir Kertosono, tepatnya pada tahun 1984 M, setelah ”manjing suluk”
selesai akhirnya beliau mendapatkan mandataris kemursyitan sebagai guru
thoriqoh Naqsyabandiyah, Qodiriyah, kholidiyah, wal mujadadiyah.
Kesempurnaan
beliau sebagai guru thoriqoh membuat hati sang guru yaitu Mbah KH. Munawir
menguji akan kesetiaan beliau sebagai seorang murid, dipanggilah beliau oleh
Mbah KH Munawir dan beliau diberi amanah yang cukup bertentangan dengan nafsu
duniawi, dimana pada saat itu perekonomian keluarga beliau sudah mulai
terbangun, tiba-tiba sang guru menyuruh beliau untuk meninggalkan semuanya;
berkatalah sang guru “Koen iku anak barep, ojo gembol uwong tuwomu, dulurmu sek
akeh, sak aken adik-adikmu kate manggon nangdi, wong tanahe bapakmu yo mek sak
munu, beliau menjawab dospundi kale bapak? Sang guru menegur ”uwong tuwomu opo
jare aku, kuwe gelem tak toto leh” beliau menjawab ”inggih” sang guru
mengatakan ”kuwe nek gelem Ngalah barokah..!!”. beliau menjawab lagi dengan
kepatuhan ”inggih”, dari situlah muncul sebuah doa yang terucap dari sang guru
”Ngalah barokah, ...Ngalah barokah,... Ngalah barokah”.
Tidak
lama kemudian beliau minta izin pulang kerumah ayahnya, dan Mbah KH. Munawir
berpesan ”nek wes tutuk omah warahen bapakmu kongkon mrene”. Setelah sampai
dirumah beliau menceritakan kepada ayahnya apa yang telah diperintahkan oleh
sang guru (Mbah KH. Munawir) kepadanya. Mbah KH. Bahruddin yang juga masih
termasuk keponakan dari Mbah KH. Munawir langsung pergi ke Kertosono untuk
menemui beliau, sesampainya Mbah KH. Bahruddin disana, Mbah KH. Munawir berkata
kepada beliau ”anakmu soleh ojok digembol ae, culno jarno arek iku cek ngaleh”
beliau menjawab ”inggih nderek aken”. Setelah perbincangan antara keduanya
selesai, akhirnya Mbah KH. Bahruddin pulang, dan sesampainya dirumah beliau
langsung memanggil Romo KH. Soleh Bahruddin dan memberikan sebuah wejangan akan
beberapa hal yang harus beliau lakukan dalam menjalankan perintah sang guru.
Dengan
diiringi doa restu yang tulus, melepaskan anaknya untuk pergi berjuang
menyampaikan kalam Tuhan, beliau berpesan;
“Kowe yen dholek panggunan
kudu ora ado lan ora jedek songko pasar”
(Kamu
kalau mencari tempat jangan yang terlalu jauh dan terlalu dekat dengan pasar)
Panggunan
mau ora adoh songko dalan sepur (Stasiun)
(Tempat
itu juga tidak jauh dari stasiun)
Panggunan mau ora
adoh songko ratan
(Tempat
itu juga tidak jauh dari jalan raya)
Panggonan mau ora
adoh songko banyu.
(Tempat
itu juga tidak jauh dari sungai)
Panggunan mau seng
penduduk’e isih tipis imane
(Tempat
yang penduduk atau warganya masih banyak yang belum beriman)
Panggonan mau durung
ono bangunan masjid.
(Tempat
itu masih belum ada masjidnya)
Lan panggonan mau
kudu ono pinggir tengene dalan.
(dan
tempat itu harus berada disebelah kanan jalan)
Belum
kering rasa kegelisahan untuk mengawali perjuangan, pindah dari dekapan orang
tua, jauh dari keluarga yang selalu memberikan perlindungan sesuai dengan
amanah sang guru, hati dan pikiran beliau tambah bergejolak rasa kebingungan
sesaat setelah menerima pesan dari orang tuanya itu. Dalam hati beliau
bertanya-tanya kemana aku harus mencari tempat yang sesuai dengan petunjuk sang
ayah itu.
Namun
dengan latar belakang ketaatan seorang anak yang selalu berbakti kepada guru
dan orang tua, beliaupun tidak pikir panjang dan banyak komentar, dengan
Bismillah dan percaya akan pertolongan Allah yang selalu menolong hamba-Nya,
perintah itupun dilaksanakan dengan meminta restu kepada orang tuanya
”Pangestunipun”, ”iyo wes budalo tak pangestoni” hanya doa itulah yang
mengiringi beliau dalam menunaikan perintah sang guru dan orang tuanya.
C. Langkah Kaki
Menuju Bumi “Ngalah”
Langkah
kaki beliau mulai berjalan, menyusuri berbagai tempat untuk mencari lokasi
perjuangan. Namun untuk menemukan lokasi yang persis dengan isi amanah sang
ayah itu sangatlah sulit. Hari demi hari beliau lalui dengan mencari informasi
kesana kemari melangkahkan kaki sesuai dengan kata hati.
Dalam
masa pencarian itu, tentunya banyak kisah pahit yang beliau alami, karena
memang mencari tempat yang sesuai dengan amanah itu tidak semudah yang kita
bayangkan, butuh sebuah perjuangan dan waktu yang cukup panjang serta sangat
melelahkan.
Bisa
kita banyangkan betapa sulitnya mencari dan menemukan tempat seperti itu,
ibarat mencari sebuah permata beliau mencari permata yang ada didasar laut
dengan berbagai kreteria dan bentuknya, dan dengan peralatan yang sangat
sederhana. Sungguh hal itu sangatlah melelahkan.
Setelah
beberapa waktu telah beliau lalui, beberapa tempat sudah beliau kunjungi,
kepergian beliau menyisir kota sidoarjo, probolinggo, jember, banyuwangi, dan
lain sebagainya, sudah cukup menyita waktu dan sangat lelelahkan, namun tempat
perjuanganpun tak kunjung beliau temukan, sesekali beliau merasa lega ketika
ada beberapa tempat yang beliau kunjungi terdapat ciri-ciri yang agak sesuai
dengan isi amanah, namun setelah beliau perhatikan dengan seksama ternyata ada
satu dan dua kreteria yang tidak terdapat dalam lokasi itu, hal itu terjadi
berulang kali, sehingga terkadang terbersit pula di hati beliau rasa keputus
asaan untuk mencari dan menemukan lokasi yang persis dengan isi amanah itu,
sampai pada akhirnya beliau matur (bilang) kepada ayahnya. “Pak, mboten enten
tempat seng kados niku” (pak tidak ada tempat yang sesuai dengan amanat itu),
kemudian ayahnya menjawab dengan singkat, “Onok, golek ono maneh!” (ada, cari
lagi). Dengan tabah dan sabar beliau jalani lagi perintah sang ayah, dengan
menyusuri berbagai daerah, mencari pijakan kaki perjuangan, namun lagi-lagi
beliau masih belum juga menemukan lokasi itu, sampai pada akhirnya rasa keputus
asaan menyelimuti hati beliau kembali, rasa gunda dan gelisa selalu menemani
beliau, rasa takutpun muncul untuk mengatakan kegagalannya dalam mencari tempat
perjuangan yang kedua kalinya kepada sang ayah, akan tetapi apa boleh buat,
kesulitan beliau pada akhirnya mendorong keberanian untuk mengatakan yang
sesungguhnya, namun lagi-lagi jawaban sang ayah tetap sama dengan yang pertama
“Onok, golek ono maneh!” (ada, cari lagi). Sungguh jawaban yang menguji sebuah
ketabahan dan kesabaran hati seseorang untuk menjalankan sebuah perjuangan.
Jawaban
yang selalu sama dari sang ayah membuat beliau bingung dan bimbang, apakah bisa
mencari tempat yang sesuai dengan amanat tersebut, termenunglah beliau dalam
keadaan gunda dan gelisa, dan di hati kecil beliau berkata; “Aku golek nangdi
maneh, tempat seng koyok ngono, padahal aku wes nangdi-nangdi sek gak nemu ae
tempat seng koyok ngono, cek sorone amanah iki”. (Aku mencari kemana lagi,
padahal aku sudah kemana-mana masih belum ketemu saja tempat seperti itu, kok
begitu berat amanah ini). Namun bagaimanapun juga beliau (Romo Kyai Sholeh)
adalah seorang anak yang selalu patuh terhadap orang tua dan guru, sehingga
bagaimanapun beratnya amanah itu, tetap beliau jalani dengan sungguh-sungguh
dan dengan keikhlasan dan ketabahan serta kesabaran hati, tidak mengenal waktu
dan lelah, beliau terus berjalan menyusuri beberapa kota dan pelosok desa,
sampai pada akhirnya beliau beranggapan bahwa hamparan pulau Jawa ini begitu
sempit untuk mencari lokasi yang sesuai dengan amanah sang ayah, dan
terfikirlah dibenak beliau untuk hijrah dan mencari lokasi di luar Jawa.
Namun
keinginan beliau untuk hijrah ke luar Jawa ternyata tidak diizinkan oleh
kehendak Tuhan, sehingga beliau mencoba kembali mengundi keberuntungan, pergi
melangkahkan kaki menyisir kota Mojokerto, setelah beberapa hari dan beberapa
tempat sudah beliau kunjungi, lagi-lagi lokasi itupun tak kunjung saja beliau
jumpai.
Dengan
sabar dan tabah beliau terus jalani perintah itu, langkah kaki terus beliau
ikuti sampai pada suatu ketika, disaat rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi
dan menemani perjalanan beliau, dari situ terdoronglah beliau untuk mencari
tempat berteduh, dan berhentilah beliau ke rumah salah satu santri ayahnya di
Pesanggrahan Ketidur Mojokerto yang bernama bapak Solikhin. Disitu beliau menceritakan
semua tujuan dan maksud kepergian beliau ke Mojokerto yaitu ingin mencari
tempat dengan beberapa kreteria yang sesuai dengan amanah sang ayah. Setelah
mendengar cerita beliau akhirnya pak Solikhin menunjukkan beberapa tempat lagi,
di antaranya yang terletak di Kutorejo, Bendengan, Pungging, dan Sumber Kembar
Pacet. Setelah beliau mendapatkan informasi tempat itu, keesokan harinya
semuanya beliau kunjungi, dan lagi-lagi semua tempat itu masih juga tidak cocok
dan tidak sesuai dengan isi amanah. Melihat begitu sulitnya mencari lokasi
tersebut, akhirnya pak Solikhin memberikan saran kepada beliau untuk minta
petunjuk kepada sang ayah, arah mana yang harus dilalui untuk mencari lokasi
itu.
Setelah
cukup lama beliau melakukan perjalanan, beliau lantas pulang kembali dengan
membawah kegagalan lagi, rasa capek membuntuti badan beliau, beristirahatlah
beliau dalam suasana penuh kegelisaan. Keesokan harinya, sesuai dengan saran
pak Solikhin, beliau mencoba memberanikan diri untuk meminta petunjuk kepada sang
ayah, arah mana yang harus beliau tempuh dalam mencari lokasi itu. Dengan rasa
kasihan melihat anaknya yang sudah malang melintang kesana kemari menjalankan
perintahnya, akhirnya sang ayah pun memberikan sedikit petunjuk, dengan
mengatakan ”melakuo ngidul” (berjalanlah kamu kearah selatan). Dari petunjuk
sang ayah itulah beliau mulai sedikit menemukan jalan terang untuk menemukan
lokasi perjuangan itu, seakan menemukan tongkat yang bisa memberikan petunjuk
jalan.
Sebagaimana
petunjuk sang ayah, beliau kembali mencari tempat perjuangan itu. Berjalanlah
beliau kearah selatan dari tempat tinggal beliau di Carat Gempol, dan mengundi
keberuntungan dengan menyisir kota Wlingi Blitar, namun lagi-lagi beliau tidak
menemukan tempat yang sesuai dengan apa yang beliau cari. Tanpa mengenal putus
asa beliau terus mencari dan mencari, langkah kaki beliau terus mengajak untuk
menyusuri setiap jalan yang bisa dilalui.
Dan
pada suatu hari pencarianpun beliau lanjutkan kembali dengan menyisir kota
Malang. Setelah beberapa desa dan tempat sudah beliau jelajahi, namun tempat
yang beliau cari masih belum ditemukan, disaat rasa kecape’an dan keringatpun
mulai bercucuran, maka pencarianpun beliau hentikan, bergegaslah beliau untuk
pulang dan beristirahat mengumpulkan stamina untuk bekal pencarian hari esok.
Namun
ketika di tengah-tengah perjalanan beliau menuju rumah, rasa kasihan Tuhan
mulai diturunkan kepada hamba-Nya yang selalu tabah dan sabar itu, dengan
pertolongan serta hidayah dari Allah SWT, akhirnya langkah kaki dan niat beliau
untuk langsung pulang terhentikan di sebuah pasar yang terletak di Purwosari.
Untuk menghilangkan rasa capek, rasa dahaga dan lapar, bersinggahlah beliau
kesalah satu warung yang ada di sekitar pasar itu, memesan secangkir kopi dan
makanan di sela-sela itu terjadilah perbincangan antara beliau dan pemilik
warung itu, yang bernama Pak Mukhtar, pada awal mulanya beliau ditanya oleh
pemilik warung itu ”sangking pundi panjenengan” dari mana anda, beliau menjawab
”sangking Carat” dari Carat, tanpa beliau sangka dan beliau sadari ternyata
pemilik warung itu mengenal ayah beliau dengan menanyakan ”napane Kyai
Bahruddin” sebelah mananya Kyai Bahruddin, dengan menutup diri beliau menjawab
”kulo tanggine” saya tetangganya. Perbincangan semakin panjang, sampai pada
akhirnya beliau mencurahkan keinginannya untuk mencari sebidang tanah yang akan
dijadikan tempat tinggal, dan lama-kelamaan terbongkar juga, kalau beliau
adalah putra Mbah KH. Bahruddin Kalam yang akan membuka lahan perjuangan baru.
Malaikat
mulai diturunkan oleh Tuhan untuk menggugah hati pak Mukhtar sehingga rasa
kasihanpun muncul dibenak hatinya, dan akhirnya dia menunjukkan bahwa ada
sebuah stasiun yang terletak tidak jauh dari pasar sini (Purwosari), tepatnya
di Desa Sengonoagung dan mungkin saja disana ada sebidang tanah yang cocok
(sesuai dengan apa yang dicari) dan bisa dijadikan tempat tinggal sekaligus
madrasah.
Dengan
ditemani pak Khojin Ngoro mojokerto akhirnya beliau melanjutkan kembali
pencarian lokasi itu, mengurungkan niatnya untuk langsung pulang, sekitar jam
12 siang atau pada saat adzan dhuhur berkumandang tibalah beliau berdua di
Perempatan Sengon sesuai dengan petunjuk pak Mukhtar tadi, dan untuk
melaksanakan panggilan Tuhan beliau bersinggah dan memunaikan kewajibannya
sebagai seorang muslim di mushollah yang terletak ditepi sungai.
Pada
awalnya beliau sempat ragu lagi untuk bisa menemukan lokasi perjuangan yang
sesuai dengan isi amanah sang ayah, sebab pada saat itu beliau melihat ada
sebuah masjid yang berdiri kokoh disebalah timurnya jalan raya. Namun seakan
ada sebuah magnet yang memanggil beliau untuk terus berjuang meneruskan
pencarian, sehingga tanpa putus asa dan tanpa mengenal lelah setelah selesai
sholat pencarian beliau lanjutkan, berjalanlah beliau kearah barat Sengon dengan
terus memperhatikan kondisi dan lingkungan disekitarnya, setelah bertanya ke
beberapa orang beliau mulai mendapatkan petunjuk, dan berputarlah beliau
berjalan melewati sungai besar yang memisahkan antara desa Sengon dengan dusun
Kembang Kuning, tidak lama kemudian sampailah beliau di dusun Kembang Kuning
tersebut, dengan berjalan kaki beliau terus menyusuri dusun Kembang Kuning
dengan selalu menoleh kanan kiri dan memperhatikan lingkungan disekitarnya,
sampai pada akhirnya langkah kaki beliau berdua terhentikan dirumah salah satu
warga yang terletak di pojok dusun yang bernama bapak H. Huri, dimana pada saat
itu masih terdapat dua rumah saja yaitu rumahnya Bapak H. Huri dan rumah Mbok
Saminah.
Disitu
beliau mulai menemukan sebuah harapan besar, sebab pada saat itu beliau melihat
ada hamparan tanah yang masih kosong tak berpenghuni, bersinggah beliau kerumah
pak H. Huri itu untuk menanyakan apakah ada tanah yang dijual dan lain
sebagainya, dari situ beliau ditunjukkan sebidang tanah milik pak Ali, setelah
perbincangan selesai, beliau lantas bersinggah kerumah Pak Ali di dusun Kembang
Kuning, dengan tujuan menanyakan tanahnya. Setibanya beliau dirumah pak Ali dan
menanyakan lahan yang dimaksud, beliau mulai ragu lagi untuk bisa mendapatkan
lahan perjuangan itu, pasalnya tanah yang dimaksud itu mau diwaqofkan jika
untuk pembangunan masjid, hal itu mengingatkan beliau pesan sang ayah yang
tidak membolehkan beliau untuk menerima tanah waqofan sebagai tempat perjuangan
selama-lamanya, dan akhirnya beliau mengurungkan niatnya untuk bisa memiliki
tanah pak Ali itu.
Karena
melihat letak dusun Kembang Kuning yang sangat strategis dan sesuai dengan isi
amanah yang berjumlah tujuh itu, sehingga tanpa putus asa beliau terus mencari
lagi tanah kosong yang ada disekitar dusun itu yang dijual dan bisa dibeli.
dengan menyisir dan mengelilingi kembali dusun Kembang Kuning, tibalah beliau
dirumah Mbok Rondo bernama Nasiyah (Mbok Yah), disitu beliau melihat ada tanah
kosong yang cukup luas dan berdekatan dengan jalan masuk desa antara Dusun
Kembang Kuning dan Dusun Pandean yang dulunya pernah dijadikan tempat
pembuangan kotoran ayam. Dengan rasa gembira dan sedikit lega beliau mencoba
mendekati tanah tersebut.
Setelah
tiba ditempat atau lokasi tersebut, beliau bertemu dengan salah satu warga
kembang kuning yang bernama pak Raki yang pada saat itu sedang menyangkul sawah
yang bersebelahan dengan lokasi, dengan sapaan yang santun beliau memulai
perbincangan, mulai saling sapa, dan bertanya siapa yang mempunyai tanah ini?,
dijual apa tidak? dan lain sebagainya.
Setelah
perbincangan beliau berakhir dan menemukan jawaban yang memuaskan, berpamitlah
beliau kepada mereka untuk pulang. Dan sesampainya beliau dirumah, dengan penuh
kegembiraan dan rasa optimis beliau langsung menghadap kepada ayahnya untuk
matur (berkata) kepada sang ayah; “Pak sampun wonten panggenan ingkang dipun
kersa’aken” (Pak sudah ada tempat yang diinginkan). Kemudian sang ayah bertanya
“Gek endi tempate?” (dimana tempatnya?), beliau menjawab; “Tempate wonten ing
dusun Pandean deso Sengonagung kecamatan Purwosari (tempatnya di dusun Pandean
desa Sengonagung kecamatan Purwosari), lalu sang ayah berkata; “Oh yo wes,
kapan-kapan ayo didelok” (oh ya sudah... suatu saat ayo kita lihat). Setelah
dirasa cukup beliau menjelaskan kepada sang ayah tentang kondisi dan tata letak
lokasi, beristirahatlah beliau dengan ditemani bayangan-bayangan hari esok
dalam perjuangannya menyebarkan kalam-kalam Tuhan.
Tanah
atau lokasi yang sudah diceritakan oleh sang putra, dimana lokasi tersebut mempunyai
kesesuaian dengan isi amanah yang telah diberikan, mulai tempatnya yang tidak
terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan pasar (pasar purwosari), tidak jauh
dari stasiun (stasiun Sengon), juga tidak jauh dengan jalan raya, dan juga
tidak jauh dari sungai (sungai jempinang), dan penduduknya yang masih kurang
mengenal syariat agama, karena disebelah lokasi terdapat lokalisasi atau tempat
berkumpulnya wanita dan laki-laki tanpa status, serta masih belum berdirinya
bangunan masjid, tempat orang bersujud kepada Tuhan, sekaligus lokasi itu
terletak disebelah kanan jalan, baik dari arah Surabaya maupun dari arah masuk
Dusun Pandean, membuat ketidak sabaran sang ayah (Mbah KH. Bahruddin Kalam)
untuk segera melihat dan membuktikan kebenaran cerita sang anak. Beberapa hari
kemudian, sang ayah (Mbah KH. Bahruddin Kalam) mengajak sang putra (Romo KH.
Soleh Bahruddin) untuk melihat lokasi tersebut. Berangkatlah beliau berdua
untuk melihat lokasinya dan setelah melihat serta mengetahui lokasi tersebut
sang ayah (Mbah KH. Bahruddin kalam) merasa cocok dan menganggap sesuai dengan
apa yang diharapkannya, berkatalah beliau kepada sang putra; “Tempat seng koyok
ngene iki seng tak karepno, iki jenenge pancor emas, tanahe mujur ngalor miring
ngetan, iki masih njalok piroae tukuen, ojok di enyang, embuh yok opo caramu,
(tempat yang seperti inilah yang aku harapkan, ini namanya pancor emas,
tanahnya mujur (menghadap) ke utara agak miring ke timur, ini minta berapa saja
harus kamu beli, jangan ditawar, entah bagaimana caramu).
D. Babat Tanah
“Ngalah”
Setelah
beliau berhasil menemukan tempat yang diharapkan dan sudah ditunjukkan kepada
sang ayah, tepatnya pada bulan September 1984 M atau pada bulan Dhul Hijjah
tahun 1404 H. Kebingungan dan kegelisaan serta beban beliau tidak malah
berkurang atau ringan tetapi justru malah bertambah, dengan apa yang telah
diucapkan oleh sang ayah, sebab pada saat itu beliau masih belum mempunyai
cukup uang untuk membeli tanah milik Pak H. Wachid Anshori Mojo itu yang
luasnya 4.740 m, sehingga dalam hati kecil beliau berkata: “Teko endi carane
aku golek duwek gawe tuku tanah iku..??” (Dari mana aku harus mendapatkan uang
untuk membeli tanah itu..??”). Pada saat itu beliau masih mempunyai uang 2 juta
rupiah dan tanah tersebut di jual dengan harga Rp. 5.000.700 atau 1,055
permeternya.
Namun
dengan tekad yang kuat pada akhirnya beliau mencoba kembali untuk mencari
karunia Tuhan yang masih tersisa, dan beliau memberanikan diri untuk menemui
dan merunding pemilik tanah tersebut, agar supaya bisa dibeli dengan cara
diangsur, namun sayangnya beliau masih belum bisa mendapatkan persetujuan dari
pemilik tanah itu. Tanpa putus asa dan sabar serta tabah beliau terus mengatur
langkah dan strategi untuk bisa mewujudkan keinginan orang tuanya itu. Hari
demi hari beliau jalani tanpa bosan untuk datang ke dusun Kembang Kuning dan
Pandean, mengenalkan diri dan bersahabat dengan masyarakat sekitar.
Setelah
cukup banyak orang yang beliau kenal disekitar dusun itu, barulah beliau
menemukan jalan terang untuk dapat membeli tanah itu. Yaitu dengan mengenal
salah satu warga Pandean yang bernama pak H. Supa’i yang merupakan sahabat
dekat pemilik tanah tersebut, dan dengan bantuannya beliau mencoba kembali
merunding pembelian tanah itu. Perundinganpun terjadi cukup alot, sipemilk
tanah berucap kepada pak H. Supa’i”aku nyelengi tanah soro-soro yo emo nek
diangsur”, (aku menabung tanah dengan susah payah, ya gak mau kalau diangsur)
pemilik tanah masih menolaknya, tetapi setelah dijelaskan oleh pak H. Supa’i
bahwa uang yang didapat dari seorang yang berjalan dijalan Tuhan pasti akan
mendapatkan keberkahan. Tanpa disadari pak H. Supa’i berucap kepada sipemilik
tanah tersebut ”duwek rong juta seng teko gus iku bakale barokah lan isok koen
gawe tuku tanah maneh seng ombone telung hektar”, (uang dua juta yang berasal
dari anak kyai itu akan membawah keberkahan dan bisa kamu buat beli tanah lagi
yang luasnya tiga hektar).
Setelah
sekian lama negosiasi itu berlanjut, akhirnya pemilik tanah tersebut membukakan
pintu hatinya untuk menerima pembelian tanahnya dengan cara diangsur dan
dibayar sebagai uang muka sebesar Rp. 2.000.000. Dan atas kehendak Tuhan,
akhirnya keberkahan yang tidak sengaja diucapkan tadi menjadi sebuah kenyataan.
Pak H. Wachid Anshori mendapatkan ganti tanahnya di daerah Puntir seluas tiga
hektar dengan harga dua juta. Sungguh keberkahan beliau yang mulai ditampakkan
oleh Tuhan.
Untuk
meringankan beban beliau dalam membeli tanah dan mendirikan pondok pesantren
baru itu yang juga merupakan pengembangan dari pondok pesantren Darut taqwa
Carat, maka di bentuklah panitia pelaksana yang di ketuai oleh Mbah Kyai
Bahruddin Kalam Sendiri, Bendaharanya Bapak M. Casbi, dan sekretaris pelaksana
yaitu Bapak M. Sya’in.
Setelah
tanah dapat beliau beli, beliau tidak lantas menempati dan membuka lahan
perjuangan itu, namun kurang lebih selama + 3 bulan beliau hanya berkunjung
melihat lokasi seraya mengenalkan diri dengan masyarakat sekitar. Dipagi hari
beliau datang dan sore hari beliau pulang, bersilaturrohmi kerumah-rumah warga
Kembang Kuning dan Pandean menjadi langka awal beliau untuk menjaring sahabat
dalam perjuangannya nanti.
Lain
hari ketika beliau tak berkunjung ke Kembang Kuning dan Pandean, beliau
dirumahnya membuat anyaman bambu dengan dibantu oleh beberapa santri ayahnya,
serta menyiapkan bekal yang akan dibawah nanti.
Setelah
dirasa cukup masyarakat disekitar yang beliau kenal, dan bekalpun sudah
disiapkan, akhirnya sekitar bulan Desember tahun 1984 M, atau bulan robiul awal
1405 H. Dengan mengendarai Truk dan dengan ditemani empat santri ayahnya beliau
berangkat menuju lokasi dengan membawa bekal yang sederhana yaitu anyaman bambu
(gedek) serta peralatan dan sedikit bahan makanan. Keempat santri itu adalah;
Moch. Asy’ari dari Jedong Ngoro Mojokerto, Moch. Sholeh asal Kali Putih Gempol
Pasuruan, Abd. Majid dari Bursik Ngoro Mojokerto dan Imam Syafi’i dari
Trenggalek.
Setelah
beliau dan kempat santri itu tiba dilokasi perjuangan, beliau langsung
mendirikan sebuah gubuk kecil persegi empat tanpa atap yang terbuat dari
anyaman bambu yang telah dibawah itu, setelah selesai, beliau dan keempat
santri itu langsung pulang ke Carat lagi.
Dua
hari sesudahnya, barulah beliau memutuskan untuk mengawali dan babat tanah
Ngalah, namun sebelum beliau berangkat, beliau mendapat pesan khusus dari sang
ayah (Mbah KH. Bahruddin), dan isi pesan itu: “Sholeh.. pesenku mek siji ono
kono, gok embong, gok masjid, gok langgar, gok pasar dulurmu kabeh” (Soleh...
pesan saya cuma satu disana, di jalan, di masjid, di mushollah, di pasar itu
semua saudaramu). Setelah beliau mendapatkan wejangan dari sang ayah, barulah
keenam santri yang akan menemani beliau dipanggil, dan dihadapan keenam santri
itu Mbah KH. Bahruddin memberikan do’a restu akan perjalanan mereka menemani
anaknya yang hendak berjuang dijalan Allah, ”wes awakmu tak izini lan tak
ridhani melok Soleh nang Sengon”, (sudah sekarang kamu semua sudah saya izini
dan saya restui untuk ikut Soleh ke Sengon).
Berangkatlah
beliau dengan enam santri ayahnya yang merupakan cikal bakal babat tanah Ngalah
ini, dengan diiringi do’a restu, beliau dan keenam santri itu meninggalkan desa
Carat tempat kelahiran beliau, keenam santri yang mempunyai latar belakang
ketaatan itu adalah: Moch. Asy’ari dari Jedong Ngoro Mojokerto, Moch. Sholeh
asal Kali Putih Gempol Pasuruan, Abd. Majid dari Bursik Ngoro Mojokerto, Imam
Syafi’i dari Trenggalek, dan M. Tohari dari Pecalukan Prigen Pasuruan serta
yang keenam Abd. Rohim dari Jurang Pelen Gempol Pas.
Dengan
sabar dan tabah beliau menjalani kehidupan baru, dengan disertai rasa penuh
pengabdian, beliau mengawali perjuangannya. Serta dengan berpakaian sederhana,
beliau mencoba menyembunyikan jati dirinya sebagai seseorang yang akan menjadi
seorang ulama’ besar dikemudian hari. Suatu prilaku katawadlu’an seorang sufi.
Celana hitam, dan bertopi laken menjadi kebiasan beliau setiap hari.
Malam
pun mulai tiba, gelapnya cahaya mulai menutup mata, hanya bercahayakan lampu
yang berasal dari miyak tanah, suasanapun mulai menyeramkan dengan dikelilingi
rerimbunan bambu (Barongan), terlebih lagi banyaknya ular berbisa yang sering
kali muncul, terkadang membuat takut para santri.
Keesokan
harinya beliau dan para santrinya mulai beraktifias, Dengan peralatan yang
sederhana beliau mulai menyangkul sawah, dan meratakan tebing-tebing yang ada
untuk dipergunakan sebagai cikal bakal tempat kediaman dan masjid. Namun
sebelum beliau membuat kediaman, langkah awal yang beliau lakukan adalah
mendirikan sebuah Masjid sebagai sarana ibadah, dan pembelajaran serta untuk
mempermudah mengajak masyarakat bermusyawarah dan berkomunikasi.
Hari-demi
hari beliau jalanai hal itu bersama keenam santrinya, dengan rasa tabah dan
tawakkal. Dan tidak lama kemudian ada beberapa warga sekitar yang mulai
membantu perjuangan beliau, diantaranya yang dari kalangan tua adalah Pak Raki,
Pak Karjin, Pak Mi, dan lain sebagainya, dan dari kalangan pemuda adalah
Khoiron, Basori, dan lain sebagainya. Hal itu beliau jalani selama kurang lebih
3 bulan lamanya. Dengan demikian susah dan sedih sudah menjadi makanan
sehari-hari bagi beliau dan para santrinya.
Sebelum
masjid dapat didirikan, beliau dan para santrinya selalu melaksanakan sholat di
beberapa mushollah yang ada disekitar, namun yang sering beliau jadikan tempat
sholat dan tempat mengajar para santri adalah di mushollah bapak H. Huri.
Sedangkan untuk tidur para santri di tempatkan di rumah salah satu warga
Kembang Kuning yang bernama Mbok Nasiyah.
Setelah
beberapa tebing sudah berhasil beliau rakatan bersama para santri dan beberapa
warga yang turut membantu, barulah beliau mengajak untuk mendirikan sebuah
masjid, namun kondisi keuangan yang ada membuat kebingungan sebagian orang
untuk mengawali mewujudkan semua itu. Namun karena adanya tekad yang kuat dari
beliau pada akhirnya ada saja jalan keluarnya, dengan telaten beliau dan para
santri mencari batu sendiri dari sungai dan kemudian dikumpulkan, beberapa hari
kemudian batupun terkumpul cukup banyak dan bisa digunakan untuk mengawali
pembangunan masjid itu.
Selanjutnya
untuk mencari orang yang mengerti tentang masalah bangunan, beliau diajak oleh
salah seorang warga Kembang Kuning yang bernama Pak Raki untuk berkunjung ke
rumah salah seorang warga Pandean yang bernama bapak Bari, dan akhirnya beliau
menunjuk pak Bari sebagai kepala tukang dalam pembangunan tersebut. Namun dalam
perbincangan beliau dengan pak Bari beliau menceritakan kondisi keuangan yang
jauh dari kata ada. Dengan tutur bahasa yang halus beliau mengatakan
keinginannya untuk mendirikan sebuah Masjid yang hanya terbuat dari anyaman
bambu saja, yang penting bisa ditempati untuk sholat dan lain sebagainya.
Seiring
dengan pergantian waktu, masyarakat sekitarpun mulai banyak yang mendengar akan
keberadaan beliau dan tujuan beliau yang ingin mendirikan sebuah masjid sebagai
tempat ibadah dan melaksanakan sholat jum’ah, sontak masyarakat sekitar mulai
banyak berdatangan dan membantu beliau, dengan senang hati dan rasa gembira
masyarakat pandean, purwo, dan kembang kuning membantu kyai dalam mengumpulkan
bahan-bahan yang diperlukan, sebab pada saat itu tidak ada bangunan masjid yang
berdiri di sekitar desa tersebut, sehingga untuk melakukan ibadah sholat jum’ah
masyarakat harus rela berjalan kaki + 2 kilo m, tepatnya di desa Sengonagung.
Hal inilah yang membuat masyarakat selalu aktif dan loyal membatu perkembangan
pembangunan masjid dan Pondok Pesantren, bahkan hingga kini keikut sertaan
masyarakat dalam perkembangan Pondok Pesantren tidak dapat dielakkan.
Setelah
bahan-bahan dan bantuan dari masyarakat terkumpul barulah pembangunan itu
dimulai. Bangunan masjid yang terbuat dari gedek (anyaman bambu) itu dibangun
dengan ukuran seluas + 15 m2 dan berpondasi batu kali. Pada saat pembangunan
dihadiri oleh mbah kyai Bahruddin, mbah kyai Munawir, serta koramil, dan untuk
peletakan batu pertama dilakukan oleh mbah kyai Bahruddin baru kemudian
peletakan batu kedua dilakukan oleh perwakilan dari koramil. Dengan izin Alloh
SWT kurang lebih 17 hari masjid yang terbuat dari bambu itu dapat dirampungkan
dengan baik. Dan akhirnya berdirilah masjid yang diberi nama masjid Darut Taqwa
II dan resmi ditempati pada hari Jum’at wage tanggal 14 dhul-hijjah 1405 H atau
tepatnya tanggal 30 agustus 1985 M. Hari Jum’at itu adalah hari yang sangat
bersejarah dimana hari itu merupakan hari pelaksanaan sholat Jum’at yang
pertama kalinya di dusun Pandean dan Kembang Kuning. Pada kesempatan itu yang bertindak
menjadi Imam Sholat adalah Mbah KH. Bahruddin Kalam dan yang menjadi Bilal
adalah bapak H. Qodir sedangkan yang bertindak sebagai khotib adalah Bapak
Subadar dari dusun Sengon selaku Mudin Desa dengan tema P4 yaitu Pedoman
penghayatan, dan pengamalan Pancasila.
Namun
pagi-pagi sebelum sholat jum’ah dilaksanakan beliau membawa semua keluarganya
serta ditemani satu santri putri ayahnya bernama Siti dari Banyuwangi untuk
ikut serta dalam perjuangan. Hal itu semua sesuai petunjuk dan atas perintah
ayahnya.
Usai
shalat jum’at dilaksanakan peresmian Masjid pun mulai digelar, dalam acara
peresmian itu dihadiri oleh beberapa tokoh masyarakat, muspika Purwosari,
Koramil dan beberapa tokoh yang lainnya, hadir pula Mbah KH Munawir, dan
beberapa ulama’ lainnya. Dalam kesempatan itu Mbah KH. Bahruddin Kalam
menuturkan “sedoyo mawon masyarakat sengonagung khususe pandean-kembang kuning,
kulo titip anak kulo, anak kulo tak kengken ngedekaaken pondok lan sekolahan,
gak ridlo dunyoo akhirat nek sampek oleh bayaran, nek sampek oleh bayaran
tolong sampean elingno, nek gak wani ngilingno, kandaaken kulo, nek kulo pun
mboten wonten, kandaaken makne, nek makne wis boten enten dimuen. Anak kulo
Sholeh, kulo titipno teng panjenengan, enten klirune segera dielingaken, sebab
niki nggeh manungso”.
Setelah
satu minggu peresmian masjid digelar, ada salah seorang warga Kembang Kuning
yang bernama Bapak Nur Salim datang kepada beliau dan dengan senang hati pak
Nur Salim memberikan sebuah gubuk kecil yang terbuat dari anyaman bambu berukuran
+ 2,5 m2, untuk dijadikan pondok angkring sebagai tempat istirahat para santri.
Setelah itu barulah pondok pesantren secara terang-terangan menampakkan jati
dirinya sebagai bengkel rohani dan kemudian terus berkembang secara pesat dari
tahun ke tahun hingga kini
Sumber : Dari
berbagai sumber
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan di komentari yang sopan dan santun, komentar langsung muncul disini, pilih anonymous atau lainnya, oke