CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) ADALAH KEWAJIBAN ASASI
1. Pendahuluan
Tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility, CSR), kini telah menjadi prioritas utama para pemimpin perusahaan di setiap Negara, termasuk Indonesia. Hal ini karena CSR telah menjadi perhatian dari kalangan pemerintah, aktivis, media, pemimpin masyarakat, karyawan perusahaan hingga para akademisi. Fenomena ini menandakan bahwa CSR merupakan hal penting dalam aktivitas perusahaan di suatu wilayah tertentu.
Keberhasilan sebuah Negara atau daerah dalam memajukan dan menyejahterakan penduduknya hanya dapat terwujud jika seluruh komponen masyarakat ikut ambil bagian, termasuk partisipasi real dari perusahaan yang beroperasi di wilayah tersebut. Partisipasi real dari perusahaan dapat disalurkan melalui program CSR, yakni dengan mengalokasikan dari bagian profit yang diperoleh perusahan pada periode tertentu.
Kota Jayapura yang sudah berusia 101 tahun, jika dianalogikan sebagai sebuah Perusahaan, maka dalam usianya tersebut seyogyanya Kota Jayapura dari berbagai perspektif dapat diakatakan sudah relatif mapan atau maju. Namun realitas menunjukkan bahwa secara fisik masih jauh dari harapan. Keterbatasan dana desentralisasi dari Pemerintah Pusat dan rendahnya penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari tahun ke tahun menjadikan akselerasi pembangunan di Kota Jayapura berjalan lamban. Untuk itu melalui tulisan ini penulis (sebagai salah seorang dari unsur Pemerintah Kota Jayapura) mengajak seluruh elemen masyarakat untuk ikut berpartiasipasi secara aktif (sense of participation), rasa memiliki (sense of belonging) dan bertanggung jawab (sense of responsibility) terhadap kemajuan daerah ini. Sebesar apapun kontribusi real masyarakat khususnya dari kalangan dunia usaha pasti akan berdampak positif dan signifikan terhadap kemajuan dan perkembangan suatu daearah, termasuk di Jayapura, kota kebanggaan kita semua. Kota ini telah memberikan ruang dan waktu untuk berusaha dan beraktivitas, tidak ada salahnya jika bagian dari profit yang diperoleh selama ini, juga disisihkan untuk membantu pemerintah dan masyarakat mempercepat roda pembangunan, seperti kata orang bijak “Jangan bertanya apa yang telah anda dapatkan dari kota ini, tetapi bertanyalah apa yang sudah anda sumbangkan untuk kemajuan kota ini”.
2. Definiisi Konsep Corporate Social Resposnsibility (CSR)
Beberapa ahli mendefinisikan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) antara lain :
(1) Mc William dan Segel (2001) CSR : serangkaian tindakan perusahaan yang muncul untuk meningkatkan produk sosialnya, memperluas jangkauannya melebihi kepentingan ekonomi eksplisit perusahaan, dengan pertimbangan tindakan semacam ini tidak diisyaratkan oleh peraturan hokum;
(2) Magnan dan Ferrel (2004) CSR : perilaku bisnis, di mana pengambilan keputusannya mempertimbangkan tanggung jawab social dan memberikan perhatian secara lebih seimbang terhadap kepentingan stakeholders yang beragam; dan
(3)The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) mendefinisikan CSR sebagai komitmen bisnis untuk berkontribusi pada pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja bersama dengan para pekerja, keluarga mereka, dan komunitas lokal.
3. Dasar Hukum
(1) Keputusan Menteri BUMN No. Kep-236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha kecil dan Program Bina Lingkungan (PKBL).
(2) Undang – undang RI No. 25 Tahun 2007 tentang “Penanaman Modal “,
Pasal 3 ayat 1 poin h bahwa perusahaan yang akan menanamkan modalnya di Indonesia harus berpijak pada asas berwawasan lingkungan. Pasal 15 poin b bahwa korporasi baik Asing maupun Domestik pada saat menempatkan modalnya di Indonesia berkewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
(3) Undang – undang RI No. 40 Tahun 2007 tentang “Perseroan Terbatas”.
Pasal 74, bahwa Perusahaan yang berbentuk PT dan beroperasi dalam bidang atau berkaitan dengan sumberdaya alam harus melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
4. Konsep CSR dari Perspektif Teoritis
Konsep corporate social resposnsibility (CSR), pada dasarnya sudah diperkenalkan oleh Andrew Carnegie (1835 – 1919) dalam bukunya yang berjudul “The Gospel of Wealth” (1899). Perusahaan di USA merumuskan konsepsi CSR berdasarkan 2 prinsip dasar antara lain : (1) Prinsip kemurahan hati (charity principle) ; dan (ii) Prinsip melayani sesama (stewardship principle).
Charity principle, menuntut para anggota masyarakat yang lebih beruntung membantu para anggota masyarakat yang kurang beruntung. Sementara stewardship principle, menuntut para pebisnis dan individu-individu yang mampu untuk memperlakukan diri mereka sebagai stewards (pelayan) atas kekayaan yang mereka miliki untuk masyarakat lain.
Seiring dengan krisis keuangan yang menimpa perusahaan di USA tahun 1940-an hingga 1960-an prinsip Carnegie ditinggalkan dan dikritik oleh Ekonom Milton Friedman peraih hadiah Nobel Bidang Ekonomi tahun 1976, dengan mengajukan konsepsi baru tentang CSR dalam bukunya “Capitalism and Freedom”, (1963) dan dipertegas lagi awal tahun 1970-an yang intinya menyatakan bahwa dengan adanya kemajuan dalam hal perolehan profit dari sebuah perusahaan dengan sendirinya akan terjadi penciptaan lapangan kerja baru yang dapat menampung pencari kerja.
Selanjutnya menurut John Elkington (1997), agar perusahaan bisa tumbuh secara berkelanjutan hanya ada satu pilihan, yakni menyelaraskan pencapaian kinerja laba (profit) dengan kinerja sosial (people) dan kinerja lingkungan (planet) secara berkesinambungan.
John Elkington (Andreas Lako, 2011:44) membedakan perilaku korporasi dalam 4 model, yaitu (i) korporasi ulat (corporate caterpillars); (ii) korporasi belalang (corporate locusts); (iii) korporasi kupu-kupu (corporate butterflies); dan (iv) korporasi lebah madu (corporate honeybees).
Dari empat 4 perilaku korporasi tersebut, diharapkan korporasi di Indonesia dapat mengimplementasikan perilaku korporasi “Lebah madu”, yakni korporasi memiliki strategi dan model bisnis yang sustainable karena melakukan inovasi secara terus-menerus, menerapkan etika bisnis, dan memiliki manajemen lingkungan yang baik secara berkesinambungan.
Selain itu, juga ada konsep CSR yang diperkenalkan oleh Indonesian business Links (IBL) yakni ada 5 pilar CSR (Andreas Lako, 2011: 45), antara lain : (1) Pengembangan sumberdaya manusia (SDM) dan pemberdayaan masyarakt setempat; (2) Memperkuat ekonomi komunitas di lingkungannya; (3) Menjaga keharmonisan dengan masyarakat di sekitarnya; (4) Mendorong good governance; dan (5) Menjaga kelestarian lingkungan. Pada hakekatnya konsepsi CSR versi IBL tersebut juga menekankan perlunya perusahaan menyelaraskan pencapaian tujuan ekonomi dengan tujuan sosial dan lingkungan dalam visi serta praktik bisnisnya.
Teori Akuntabilitas Korporasi (corporate accountability theory) menyatakan bahwa Perusahaan harus bertanggung jawab atas semua konsekuensi yang ditimbulkannya baik sengaja maupun tidak disengaja kepada para pemangku kepentingan (stakeholder).
Secara khusus teori tersebut menyatakan CSR tidak hanya sekedar aktivitas dermawan (charity) atau aktivitas saling mengasihi (stewardship) yang bersifat suka rela kepada sesama seperti dipahami para pebisnis selama ini, tetapi juga harus dipahami sebagai suatu kewajiban asasi yang melekat dan menjadi “roh kehidupan” dalam sistem serta praktik bisnis. Alasannya, CSR merupakan konsekuensi logis dari adanya hak asasi korporasi yang diberikan Negara kepada perusahaan untuk hidup dan berkembang secara berkesinambungan dalam suatu area lingkungan bisnis. Jika tidak ada keselarasan antara kewajiban asasi korporasi dan hak asasi korporasi, dalam area tersebut, maka akan terjadi saling mengeksploitasi dan mematikan satu sama lain.
5. Kewajiban Perusahaan Melaksanakan CSR
Secara global beberapa tahun terakhir ini memperlihatkan di beberapa Negara, perusahaan telah melaksanakan CSR sebagai sebuah program yang wajib diimplementasikan. Tak terkecuali di Indonesia juga sudah banyak perusahaan yang menjalankan CSR baik yang dikuasai oleh Pemerintah dalam hal ini BUMN dan BUMD, maupun perusahaan swasta nasional.
Perkembangan global saat ini menuntut CSR menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari. Suka atau tidak suka, ia harus dikerjakan sebagai bentuk tanggung jawab kepada pemangku kepentingan (stakeholder) (Business Week edisi Indonesia 18 Juni 2008: 39).
Senada dengan Ibu Erna Witoelar (Duta Besar PBB untuk Mellenium Development Goals (MDGs) untuk kawasan Asia Pasifik, yang mengaitkan CSR dengan upaya pencapaian MDGs. Walaupun pada dasarnya hal tersebut adalah tugas pemerintah sebagai penanggung jawab utama, namun pemerintah yang “cerdas” adalah yang mampu memfasilitasi informasi CSR masing-masing perusahaan untuk mempercepat proses pencapaian MDGs dan membuat seluruh aspeknya terjangkau (Bisnis & CSR November 2007).
6. Program CSR di Kota Jayapura
Pemerintah Kota Jayapura dibawah Pimpinan Pasangan Drs. Benhur Tomy Mano, MM dan DR. H. Nuralam, SE, M. Si (BTM-ALAM) yang dilantik 21 Juli 2011, telah mencoba membangun komunikasi secara intensif kepada seluruh komponen masyarakat, termasuk BUMN, BUMD dan seluruh Perbankan yang beroperasi di wilayah Kota Jayapura untuk ikut berpartisipasi aktif dalam membangun Kota Jayapura yang Beriman, Mandiri, Sejahtera, berlandaskan Nilai-nilai Kearifan Lokal.
Pada Awal September 2011, Pemerintah Kota Jayapura mengadakan pertemuan dengan Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Perbankan yang beroperasi di wilayah Kota Jayapura. Minggu keempat September 2001 kembali Pemerintah Kota Jayapura mengajak segenap Pimpinan BUMN Non Perbankan (yang tergabung dalam Forum BUMN) guna membahas tentang program CSR, baik yang sudah, tengah dan yang akan diimplementasikan khususnya di Kota Jayapura.
Sungguh luar biasa, ternyata Bank Indonesia, BUMN, BUMD, dan seluruh Perbankan telah menjalankan Program CSR yang tersebar disekitar wilayah Kota Jayapura, dengan 3 tiga fokus program, antara lain : (1) Pengembangan sumberdaya manusia; (2) Pembinaan ekonomi kerakyatan; dan (3) Bina lingkungan hidup. Sebagai contoh, Bank Indonesia memiliki kampung binaan di Koya Koso dan Holtekamp. PT. Bank Pembangunan Daerah Papua juga telah membantu sarana dan prasarana penunjang pendidikan ke sejumlah sekolah, dan Pembinaan Usaha Kecil dan Menengah di Kota Jayapura. PT. Pelindo Wilayah IV sejak awal pemerintahan BTM-ALAM (Agustus 2011) sudah membantu pengadaan 1 unit Dump Truck. Sementara PT. Pertamina dan PT. Bank Pembangunan Daerah Papua (sedang dalam proses pengadaan masing-masing 1 unit Dump Truck). PT. Jasa Raharja juga siap menata dan merawat Taman Kota di sepanjang Jalan Sam Ratulangi. PT. Bank Mandiri sudah siap menata dan merawat Taman Perdamaian Porasko. PT. Bank Tabungan Negara juga meminta 5 area Taman Bunga.
Sementara itu, PT. Bank Rakyat Indonesia; PT. Bank Negara Indonesia 46; PT. Bank Central Asia; PT. Bank Panin; PT. Bank Syariah Mandiri; PT. Jamsostek; BULOG dan beberapa perusahaan BUMN lainnya juga siap mengimplementasikan program CSR-nya di Kota Jayapura.
Kota Jayapura saat ini memiliki 40 taman bunga dan fasilitas umum lainnya yang belum terkelola secara professional, untuk itu pada masa mendatang diharapkan perusahaan yang beroperasi di daerah ini dapat ikut ambil bagian dalam pengelolaannya, tentunya disesuaikan dengan program CSR masing-masing.
Pemerintah Kota Jayapura mengakui bahwa tanpa bantuan dan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat termasuk perusahaan, yang ada di daerah ini, maka kemajuan dan akselerasi pembangunan sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh kota-kota di Kawasan Barat Indonesia seperti Surabaya, Bandung dan Makassar menjadi lamban, sekecil apapun bentuk bantuan dan partisipasi masyarakat sangatlah berarti demi kemajuan daerah ini.
7. Penutup
Maraknya pelaksanaan CSR belakangan ini di Indonesia (diharapkan juga terjadi di Kota Jayapura) perlu diapresiasi oleh semua pihak, khususnya para BUMN, BUMD dan perbankan yang sudah mengalokasikan bagian dari profit yang diperoleh pada periode tertentu. Apresiasi yang setinggi-tingginya juga disampaikan kepada seluruh BUMN, BUMD dan Perbankan yang sudah berkomitmen untuk menyelenggarakan program CSR-nya di Kota Jayapura pada masa mendatang.
Pemerintah Kota Jayapura, pada dasarnya berkeinginan untuk membentuk suatu wadah yang bisa mempertemukan perwakilan dari masing-masing lembaga Pemerintah Kota, Bank Indonesia, BUMN, BUMD dan seluruh Perbankan, agar program CSR masing-masing bisa lebih bersinergi dan tidak over laping ditingkat operasional.
Semoga, tulisan ini bisa menjadi pemicu bagi terselenggaranya program CSR dari seluruh korporasi yang telah mendapatkan ruang dan waktu untuk beroperasi di daerah ini, demi terselenggaranya akselerasi roda pembangunan yang pada gilirannya segenap penduduk kota ini menjadi lebih sejahtera.
DESENTRALISASI FISKAL
TRANSFER DANA BERBASIS KINERJA (Kompas, 7 Oktober 2011, hal 20)
Bank Dunia menyarankan agar transfer dana dari Pemerintah Pusat ke daerah tidak lagi menggunakan Basis Masukan (infut) seperti selama ini, melainkan “berabasis kinerja”. Pertimbangannya karena basis infut, tidak cukup efektif mendorong kemajuan daerah. Dengan infut yang sama, kualitas pelayanan public ternyata bisa jauh berbeda (Kompas, 7 Oktober 2011, hal 20). Hal ini tertuang dari hasil survey Bank Dunia dalam Laporan Perekonomian Indonesia Triwulan III. Berdasarkan survey tersebut, transfer dana ke daerah selama satu decade terakhir tidak banyak menunjukkan hasil positif. Padahal sejak desentralisasi fiscal, transfer dana ke daerah naik hingga dua kali lipat (200%). Hasil survey Bank Dunia, sekitar 30% daerah justru mencatat penurunan pada semua indicator hasil pelayanan public.
Kepala Ekonomi Bank Dunia Shubhan Chaudhry di Jakarta Kamis (6 Oktober 2011), mengatakan Negara-negara lain sudah lama meninggalkan system berbasis infut. Dengan system berbasis kinerja, daerah akan lebih terpacu. Anggaran ditentukan berdasarkan kinerja dan prestasi tiap daerah. Jadi tidak dipukul rata.
Diharapkan koordinasi vertical dalam transfer dana seharusnya juga lebih ramping. Banyaknya Badan yang terlibat akan menimbulkan biaya transaksi dan beban koordinasi yang tinggi. Misalnya, kesulitan koordinasi bidang pendidikan karena tiap sekolah menerima 7 transfer yang berbeda dari 4 pos anggaran berlainan.
Akibat lainya dengan system Berbasis infut, Bank Dunia juga mencatat telah memicu adanya pemekaran wilayah. Pada saat awal desentralisasi bergulir, Indonesia hanya memiliki 30 provinsi dan 342 kabupaten/kota. Pada tahun 2008, jumlahnya bertambah menjadi 33 provinsi dan 490 kabupaten/kota.
Insentif keuangan mendorong daerah melakukan pemekaran. Setelah mendapatkan dana, alokasinya tidak sejalan dengan kebutuhan pembangunan. Sekitar 30 – 40% anggaran habis untuk alokasi biaya administrasi pemerintahan, bahkan ada daerah provinsi maupun kabupaten/kota melebihi dari 50%. (selesai)
Ia trimakasih mbak hanum atas masukannya nanti saya tindaklanjuti salam pemberdayaan ..
BalasHapus